Saturday, 3 January 2009

Tentang Biaya Hidup dan Biaya Kuliah Tahun 80-an

Walaupun agak mengharukan, menggali pendaman memori tentang biaya hidup di tahun-tahun 1980-an memberikan rasa bahagia tersendiri di hati. Bahagia terutama karena menyadari bahwa sebagian dari kita dapat melewati masa-masa yang sangat sulit dengan kondisi finansial yang amat memprihatinkan.

Seingatku, kurs US Dollar terhadap Rupiah pada awal-awal 1983 (jaman saya masih SLTA) adalah Rp 700 per 1 USD. Pada awal-awal tahun 1986, Rupiah berada di level 1.100-an per 1 USD. Terus, pada kuartal terakhir tahun 1986, pemerintah mendevaluasi Rupiah hingga nilai tukarnya menjadi Rp 1.600-an per 1 USD. Kurs di tingkat ini bertahan cukup lama.
Nah, saya mulai dari masa pendaftaran SIPENMARU 1986, nih. Saat itu, formulir SIPENMARU dibanderol dengan harga Rp 25.000. Tidak terlalu mahal, tapi juga tidak murah. Harga beras kelas biasa seingat saya sekitar Rp 600 per kilo (inget, maklum, suka keluyuran di pasar...).

Pada awal Agustus 1986, hasil SIPENMARU diumumkan. Saya diterima di IKIP Yogyakarta, Jurusan Bahasa Inggris. Pada saat itulah saya harus meninggalkan Purwokerto dan berangkat ke Yogya. Saat itulah saya naik kereta api secara "resmi" untuk pertama kali. Harga karcis kereta Purbaya dari Purwokerto ke Yogyakarta adalah Rp 1.600. Murah. Ini kelas ekonomi. Terus, di Yogya bis KOPATA mematok harga Rp 100 untuk sekali naik. Tarif becak tidak tercatat.

Di IKIP, mahasiswa baru yang masuk tahun 1986 diwajibkan membayar SPP sebesar Rp 55.000 per semester. Mahasiswa dari angkatan sebelumnya masih membayar Rp 33.000 per semester. Bahkan, mahasiswa dari angkatan 1983 cuman diwajibkan membayar Rp 8.000 per semester. Tak pelak, IKIP Yogyakarta waktu itu dianggap sebagai tempat kuliah yang sangat murah. Toh, rekor murah ini masih kalah dibanding IAIN Sunan Kalijaga yang (kalau nggak salah) pada tahun 1986 masih memasang angka Rp 25.000 per semester. UGM sudah memasang angka Rp 90.000 per semester (untuk fakultas-fakultas sosial) dan Rp 110.000 per semester (untuk fakultas-fakultas sains MIPA).

Nah sekarang giliran ngomongin biaya hidup. Sewa kamar kos bervariasi. Saya sendiri berhasil mendapatkan kamar yang saya sewa berdua dengan sepupu seharga Rp 70.000 per tahun! Di tahun berikutnya, saya menyewa kamar sendirian dengan tarif masih cukup murah juga: Rp 60.000 per tahun. Kondisinya memang "mengharukan". Ukurannya lumayan (3 x 4 m), lantainya semen, dindingnya anyaman bambu (gedhek), isinya dipan kosong tanpa tikar, sepasang meja-kursi kayu, listrik sekedarnya, air sumur timba, kamar mandi di kebun belakang, yang punya nenek-nenek yang "kadang galak"....he-he-he... Beberapa rekan lain beruntung bisa menempati kamar kos yang lebih layak, dengan harga sewa Rp 150.000 sampai Rp 300.000 per tahun. Tentu saja kondisinya jauh lebih "kondusif" buat "menuntut ilmu".

Perihal makan, di awal-awal kuliah saya sempat membeli makan di warung. Warungnya tiap hari sama, warungnya Lik Widi di Samirono. Harga seporsi nasi dan sayur cuma Rp 75. Sepotong tempe atau tahu goreng cuma Rp 25. Jadi, kalau makan nasi dengan lauk sayur (gudeg atau sawi atau jipang, dll) plus sepotong tempe, saya cuman perlu mengeluarkan Rp 100. Biasanya, expense Rp 100 ini saya terapkan untuk makan pagi. Untuk makan siang dan sore, biasanya yang saya keluarkan masing-masing Rp 200. Intinya, dalam sehari tidak boleh lebih dari Rp 500 untuk makan. Perihal pengeluaran ini memang harus diperhitungkan dengan amat cermat, mengingat jatah uang saku dari orangtua cuman Rp 15.000 per bulan. Yang kadang ajaib, jatah segitu kadang nggak habis, loh. Kadang masih ada sisa Rp 2.000-an yang bisa dipakai untuk pulang ke Purwokerto. Dengan catatan, sesampainya di stasiun Purwokerto hari sudah malam, angkot sudah ngandang, uang sudah tidak cukup untuk naik becak, dan sisa perjalanan pulang ke rumah terpaksa ditempuh dengan modal dengkul alias jalan kaki. Lumayan, jarak 8 km ditempuh dengan keringat bercucuran di udara malam Purwokerto yang lembab.

Untuk hidup "selayaknya mahasiswa", dana yang diperlukan pada tahun-tahun itu adalah di sekitar Rp 50.000 sampai Rp 60.000 per bulan. Jika dana bisa di atas itu, mahasiswa sudah bisa sedikit foya-foya (bisa sekali-sekali mampir ke "Crazy Horse").

Bulan-bulan berikutnya, saya memutuskan untuk memasak nasi sendiri dengan beras yang dibawa langsung dari Purwokerto. Beberapa kali ketemu penumpang di kereta bermulut usil yang mencemooh kala melihat pundak ini memanggul kantong beras (kantong bekas tepung terigu cap Segitiga Biru). Salah satu kalimat "negatif" yang masih terngiang-ngiang sampai sekarang: "Kok nggak sawahnya sekalian dibawa, Mas?" Saya cuma bisa membalasnya dalam hati: "Terkutuklah kamu!". Untuk lauk, saya tetap membeli mateng (karena nggak terbiasa masak sayuran). Kadang-kadang bikin sambel bajak sendiri juga, sih. Nah, keputusan memasak sendiri ini tentu saja semakin menekan biaya hidup. Jatah bulanan masih tetap sama, namun pengeluaran bisa berkurang. Percaya atau tidak, sisanya kadang masih bisa buat membeli t-shirt! Unbelievable.

Bagaimana dengan buku-buku? Dari mana uang untuk membelinya? Nah, ini juga ajaib. Believe it or not, selama lebih dari 6 tahun kuliah, buku text yang dibeli tidak sampai 10 biji! Buku tulis juga setahun cuma perlu satu (yang tebal) untuk semua mata kuliah. Beberapa buku diperoleh dengan cara memfotokopi. Nah, kalau pas tidak ada dana untuk fotokopi? Masih ada solusi: pergi ke perpustakaan, siapkan kertas-kertas HVS, trus salin dan rangkum isi buku dengan TULISAN TANGAN. Pokoknya tangan sampai pegal-linu dibuatnya. Untuk menghemat alat tulis, saya tidak memakai pulpen "sewajarnya". Pulpen yang biasa dipakai adalah pulpen yang bisa diisi tinta botolan, namanya "fountain pen". Merknya biasanya "ERO", trus merk tintanya ada yang "HERO" dan ada yang "QUICK". Selebihnya, perpustakaan memang jadi andalan.

Biaya fotokopi antara Rp 10 s.d Rp 15 per lembar.
Harga kaos murah-meriah di emperan Gardena (Jl. Solo) atau emperan Ramai (Malioboro) berkisar Rp 3.500 sampai Rp 5.000.
Harga emas sekitar Rp 25.000 per gram.
Harga mesin ketik bekas (merk Brother atau Olympic) sekitar Rp 90.000 sampai Rp 100.000.
Harga 1 unit komputer desktop (CPU, monitor, keyboard) merk Mugen di Computa sekitar Rp 1.000.000. Mahal banget!

Begitulah. Maka hidup pun terus berjalan....