Tuesday, 3 January 2017

Tentang Biaya Hidup dan Biaya Kuliah

Sudah dibahas.

Reunian Gayeng Di Kaliurang

Sing penting gayeng.
Kiri-kanan: Wibowo,  Aryadi Aang,  Tri Haryanto, Endang Purbo Mimin, Heni Nugraheni, Iwan Nusyirwan.

Setelah 25 Tahunan Nggak Ketemu

Duduk kiri-kanan: Asril, Nusyirwan, Martindah, Ratna, Sri Puji, Endang Purbo, Hastanti, Aryadi (nyelip), Sulismiyani, Kristyowati, Sri Lestari.

Berdiri kiri-kana: Eko Human, Yusuf Brengos, Iqbal, Purnomo (nyelip), Mayang Su, Giyono (nyelip), Tri Rohadi, Wasi Dew (nyelip), Yusuf Murti, Suminto (nyelip), Wibowo, Tri Haryanto, Budi San, Nikmatullah.

Yang tidak kelihatan di foto ini: Purwanto (nggak tahu lagi ke mana), Kuswiningsih (pamit tengah malam bareng suaminya), Isaratun (pamit setelah datang sebentar saja), Nugraheni (iki yo ketoke pamitan rada isuk).


Teknologi internet membawa berkah bagi kita semua, khususnya Facebook dan (belakangan) Whatsap. Komunikasi di antara kami jadi lebih cepat, lebih mudah, dan lebih murah.

Maka terwujudlah acara reuni yang dipersiapkan dengan cukup serius oleh teman-teman di Jogja. Banyak di antara kami meninggalkan kampus (entah karena wisuda atau sebab lainnya) pada tahun 1991. Jadi, saat kami berkumpul kembali di Kaliurang awal Desember 2016, kami sudah terpisah selama kurang lebih 25 tahun.

Aku lihat teman-teman tidak terlalu banyak berubah, tetap awet muda. Itu bagus, karena itu tandanya teman-temanku bahagia.

Memang tidak semuanya bisa datang. Dari 72 anak angkatan 1986 yang tercatat di memoriku,  hanya sekitar separuhnya yang bisa nongol. Tapi itu sudah bagus banget.

Sebagaimana layaknya bocah reunian, acara utamanya adalah ngobrol ngalor-ngidul nggak karuan.

Apa pun itu, kami merasa sangat bergembira.

Jalannya Masing-Masing

Setelah lulus, kami menempuh jalannya masing-masing.
Sebagian besar memang pada jadi guru, sesuai pendidikannya.
Sebagian lagi ada yang berkarir di perusahaan.
Sebagian lagi berwiraswasta.
Apa pun jalan yang dipilihnya, masa-masa bersama di kampus telah menjadikan kami sebuah keluarga.
Dan memang ada yang benar-benar berkeluarga, jadi suami-istri maksudnya.
Hehehe...jodoh emang nggak kemana-mana/

Monday, 20 June 2011

Kerja Sambilan

Walaupun susah didapat, tetap saja ada pekerjaan sambilan yang bisa dilakukan kami dan rekan-rekan sejurusan. Yang susah didapat adalah pekerjaan sambilan yang membutuhkan majikan (atau yang dilakukan dengan status kami sebagai karyawan orang lain), sedangkan yang mudah dilakukan adalah pekerjaan yang sifatnya wirausaha.

Berikut ini daftar beberapa pekerjaan yang lazim (juga yang tidak lazim) dilakukan sebagian di antara kami.

Yang perlu majikan:
a. Ngajar di kursusan (ini yang paling lazim)
b. Jadi resepsionis hotel (ada 1-2 orang)
c. Jadi penyiar radio (ada 1 orang, deh)


Yang nggak perlu majikan:
1. Penyedia jasa "Ngetik-in Kartu Mahasiswa" (biasanya di musim registrasi saban semester)
2. Penerjemah lepas (bagi yang mau repot-repot)
3. Pemandu wisata (tour guide) lepas (di Prambanan, Borobudur, Kraton, dan sekitarnya)
4. Ngajar privat (bahasa Inggris, tentunya)
5. Mbikin-bikin desain stiker (nggak nyambung dengan kuliahnya)
6. Nyanyi di kafe (nggak ada hubungannya dengan field of study-nya, tapi ada juga loh)
7. Ngejualin kartu lebaran (sama, nggak nyambung dengan mata kuliah apa pun di jurusan)

Yang saya ingat ya segitu itu. Memang, terbatas sekali lowongan pekerjaan yang tersedia bagi kami yang ingin mendapatkan penghasilan, serendah apa pun pekerjaan tersebut. Kadang, penasaran juga dengan berita-berita dan ocehan beberapa orang yang pernah tinggal di Eropa or Australia or USA bahwa banyak mahasiswa di sana yang bisa nyambi jadi pencuci piring di restoran atau pengantar pizza door-to-door. Ternyata, kondisi di negeri-negeri "sono" tersebut emang jauh berbeda dengan negeri Yogyakarta. Di Jogja, posisi-posisi yang "katanya" bisa diisi oleh mahasiswa secara sambilan ternyata udah diisi oleh orang-orang yang memang "hidup-matinya" ada di situ, alias mengandalkan pekerjaan tersebut sebagai pekerjaan utama dan satu-satunya.

Saya sendiri nekat jadi penerjemah, dengan tarif amat murah. Awal-awal, pekerjaan menerjemahkan ditulis tangan (dan ternyata ada juga customer yang mau). Setelah mampu mbeli mesin ketik bekas di Ledok Tukangan (gracias por Semar-Mesem fundacion), barulah penerjemahan dilakukan dengan mesin ketik. Tarif sedikit naik, tapi nggak bisa banyak-banyak, kerana customer (yang umumnya mahasiswa) maunya juga ngirit. Ya udah, wirausaha bermodal utama nekat pun jalan terus sampai kuliah kelar.

Ada yang membuat hati saya tergetar, salah satu mahasiswa lain jurusan (Bhs Jawa), dengan kepercayaan diri yang luar biasa mencari penghasilan dengan jualan baso dorongan di Samirono. Waktu dia lewat di depan kos-kosan saya, tenggorokan ini tercekat erat saking terharunya. Spellbound.

Friday, 22 October 2010

Setelah 20-an Tahun Tidak Ketemu


Setelah 20-an tahun berpisah, akhirnya sebagian dari kami ketemuan di acara reuni kecil-kecilan di Sleman. Baris depan ki-ka: Ponco, Tri, Ani, Erna, Ratna, Sri Lestari, Sulismiyani, Fitri, Wati, Endang. Baris belakang ki-ka: Teguh, Heni, Khozin, Suhaiban, Nusyirwan.
Faktor utama yang bisa membuat kami bertemu lagi adalah temuan ajaib bernama FACEBOOK. Thank you, Mark Zuckerberg.

Wednesday, 3 February 2010

Tentang Makanan

Sejak dulu, ada banyak sekali ragam makanan di Jogja. Keragaman makanan ini terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa orang dari berbagai suku bangsa di Indonesia semua ada di Jogja. Namun di antara ratusan jenis makanan, yang mampu dibeli mahasiswa prihatin adalah makanan yang itu-itu saja.

Nah, yang termasuk dalam makanan yang itu-itu saja antara lain adalah:
1. Sega gudeg standard
2. SGPC (Sega Pecel)
3. Bakmi
4. Gudangan
5. Sate ayam tipis
6. Soto bening
7. Sega rames (nasi, sayur lodeh, kering tempe, srundeng)

Di luar daripada itu, makanan-makanan yang tidak khas Jogja umumnya masuk kategori "kurang terjangkau". Untuk tidak semakin mengiris-iris hati karena mengenang masa lalu yang memprihatinkan, daftar makanan yang masuk kategori ini tidak akan saya tampilkan. Mengko malah mung gawe nlangsa....